Selasa, 11 September 2012

Titik Singgung Ilmu Pengetahuan, Agama dan Filsafat



by Enggar adibroto

Walau sama sama berurusan dengan Kebenaran (kalau tidak disebut sebagai tujuan), menghubungkan ilmu pengetahuan  dengan agama dan filsafat adalah perdebatan menyenangkan. Menjadikan kita ditarik dalam sebuah petualangan keilmuan yang memaksa kita untuk minum air laut, selalu haus, dan selalu ingin minum lagi.
Dari cara mencari kebenaran ketiganya berangkat dari halyang berbeda.
Keilmuan mencari kebenarannya dengan cara penyelidikan, pengalaman, percobaan. Sedang filsafat mencari kebenarannya dengan mengembarakan  akal budi secara bebas mencari sebab sebab terdalam dan kemampuan pikir manusia adalah batasnya. Sedang Agama dalam proses pencarian kebenarannya tidak akan lepas dari penyandaran diri pada keyakinan.

Tahun 300 an sebelum masehi,filsuf demokritos sudah bicara tentang dunia dan manusia dengan memakai atom dan ruang kosong sebagai dasar pemikiran. Lalu kimiawan  diakhir abad 18 Masehi meletakkan dasar atom sebagai benda yang tak bisa dibagi lagi dengan menggunakan metode kimia dan diakhir abad 19 Masehi para fisikawan membuktikan bahwa atom masih bisa dibagi lagi menjadi sub atom dan dengan prinsip prinsip mekanika kuantum mereka kemudian memodelkan atom.
Padahal  dengan objek yang sama hanya dengan menyandarkan diri pada keyakinan akan kebenaran wahyu agama, ilmuwan  Asy’ariyah di abad 9 Masehi, sudah  bisa mengatakan tentang 3 prinsip dasar atom, dan salah satunya yang terkenal adalah pendapat bahwa  atom tidak mempunyai ukuran tapi berdimensi.
Kepada siapakah sejatinya ilmu pengetahuan tentang atom itu berangkat, bersandar dan kemudian menuju?
Apakah ini sebuah proses linier Thesis melahirkan Antithesis dan kemudian terakomodir di sintesis? Dimana atomnya demokritos  menjalani banyak proses sehingga menjadi mekanika kuantum?
Atau bukannya malah sebuah proses normal scince dan anomali-anomali melahirkan revolutionary science yang berbeda sama sekali dengan science sebelumnya? Dimana atom yang yang dimaksud demokritos berbeda sama sekali dengan atom yang dibuat model oleh prinsip mekanika kuantum, ?
Lalu bagaimanakah outputnya, bila input nya didapat dengan dasar, cara dan bahkan pemahaman kebenaran yang berbeda?
Jika dianggap atom sebagai objek ilmu pengetahuan, tidak bisa semata mata bisa  dimulai pada sebuah keyakinan akan kebenaran,lalu dieksplore untuk diterjemahkan dalam bahasa logika sehingga bisa jadi pembenaran atas keyakinannya (agama), sebab pada dasarnya seperti yang bisa dijelaskan diatas bahwa ilmu pengetahuan harus menyadarkan dirinya pada keraguan, sedang pada agama semuanya harus berawal dari keyakinan.
Ini penting mengingat hal tersebut merupakan dasar, dan bila dasar dibentuk dalam kondisi tidak mutlak, maka segala konstruksi logika yang dibangun diatasnya invalid. Bila  sebuah objek ilmu diyakini keberadaannya berdasar keyakinan agama,  kemudian  dieksplore sedemikian rupa dengan metodologi keilmuan dan  bila ternyata  tidak bisa  membuktikan kebenarannya, maka keraguan akan ajaran agama akan tumbuh.

Walaupun sama sama berangkat dari keraguan,melepas begitu saja ilmu pengetahuan bercinta  dengan filsafat akan menumbuhkan kondisi ilmu untuk ilmu. Dimana batas ukurannya adalah kemampuan berfikir. Saat ditemukan kertas, maka ilmu berkembang mencari kertas paling baik, pohon  harus ditebang maka tumbuh ilmu begimana memotong pohon secara cepat, lalu terjadi banjir, ditemukan  bendung, lalu ilmu berkembang mencari bendung yang paling kuat .sebuah  perlombaan lari otak  tanpa mengenal garis finish. Dan nilai nilai kemanusiaan menjadi kura-kuranya.

Bila  nilai kemanusiaan selalu tertinggal,maka segala prosesi panjang berabad abad dari filsafat,agama dan ilmu pengetahuan, menjadi kehilangan kehakikian, karena manusia sebagai pelaku dari prosesi tak menikmati apa yang dilakukannya sendiri. menempatkan manusia kembali  ke titik kosong. (Bukan nol. Karena nol masih punya nilai). Tak ada lagi tujuan, yang ada adalah pengembaraan.
“nilai kemanusiaan” adalah kata kunci nya.
agama tak lagi cukup dianggap objek yang dinikmati cinta nya, tapi harus diketahui juga bagaimana cinta itu, sebab agama sebagai rule pencipta terhadap ciptaannya, tentunya  mengatur juga hubungan dasar manusia,,akhirnya agama  harus dipelajari juga sebagai sebagai ilmu, dengan final prosesinya  adalah  nilai nilai kemanusiaan. Disamping keyakinan dan ketunduk-an, maka belajar agama  menjadi mutlak..
Jika filsafat sebagai ilmu menggunakan nilai nilai kemanusiaan maka  arah pengembaraannya tak lagi lurus menjulang, tapi berpola anak tangga ,yang  menimbulkan final parsial kemanusiaan pada tiap nilai tertinggi yang dicapainya dalam pengembaraannya.

Dari situ kemudian kemudian ilmu pengetahuan menjadi jelas berangkat,berjalan dan menujunya. Nilai kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar