by Enggar adibroto
Walau sama sama
berurusan dengan Kebenaran (kalau tidak disebut sebagai tujuan), menghubungkan
ilmu pengetahuan dengan agama dan filsafat adalah perdebatan
menyenangkan. Menjadikan kita ditarik dalam sebuah petualangan keilmuan yang
memaksa kita untuk minum air laut, selalu haus, dan selalu ingin minum lagi.
Dari cara mencari kebenaran ketiganya berangkat dari
halyang berbeda.
Keilmuan mencari kebenarannya dengan cara
penyelidikan, pengalaman, percobaan. Sedang filsafat mencari kebenarannya
dengan mengembarakan akal budi secara bebas mencari sebab sebab terdalam
dan kemampuan pikir manusia adalah batasnya. Sedang Agama dalam proses
pencarian kebenarannya tidak akan lepas dari penyandaran diri pada keyakinan.
Tahun 300 an sebelum masehi,filsuf demokritos sudah
bicara tentang dunia dan manusia dengan memakai atom dan ruang kosong sebagai
dasar pemikiran. Lalu kimiawan diakhir abad 18 Masehi meletakkan dasar
atom sebagai benda yang tak bisa dibagi lagi dengan menggunakan metode kimia
dan diakhir abad 19 Masehi para fisikawan membuktikan bahwa atom masih bisa
dibagi lagi menjadi sub atom dan dengan prinsip prinsip mekanika kuantum mereka
kemudian memodelkan atom.
Padahal dengan objek yang sama hanya dengan
menyandarkan diri pada keyakinan akan kebenaran wahyu agama, ilmuwan
Asy’ariyah di abad 9 Masehi, sudah bisa mengatakan tentang 3
prinsip dasar atom, dan salah satunya yang terkenal adalah pendapat bahwa
atom tidak mempunyai ukuran tapi berdimensi.
Kepada siapakah sejatinya ilmu pengetahuan tentang
atom itu berangkat, bersandar dan kemudian menuju?
Apakah ini sebuah proses linier Thesis melahirkan
Antithesis dan kemudian terakomodir di sintesis? Dimana atomnya
demokritos menjalani banyak proses sehingga menjadi mekanika kuantum?
Atau bukannya malah sebuah proses normal scince
dan anomali-anomali melahirkan revolutionary science yang berbeda
sama sekali dengan science sebelumnya? Dimana atom yang yang dimaksud
demokritos berbeda sama sekali dengan atom yang dibuat model oleh prinsip
mekanika kuantum, ?
Lalu bagaimanakah outputnya, bila input nya didapat
dengan dasar, cara dan bahkan pemahaman kebenaran yang berbeda?
Jika dianggap atom sebagai objek ilmu pengetahuan,
tidak bisa semata mata bisa dimulai pada sebuah keyakinan akan
kebenaran,lalu dieksplore untuk diterjemahkan dalam bahasa logika sehingga bisa
jadi pembenaran atas keyakinannya (agama), sebab pada dasarnya seperti yang
bisa dijelaskan diatas bahwa ilmu pengetahuan harus menyadarkan dirinya pada
keraguan, sedang pada agama semuanya harus berawal dari keyakinan.
Ini penting mengingat hal tersebut merupakan dasar,
dan bila dasar dibentuk dalam kondisi tidak mutlak, maka segala konstruksi
logika yang dibangun diatasnya invalid. Bila sebuah objek ilmu diyakini
keberadaannya berdasar keyakinan agama, kemudian dieksplore
sedemikian rupa dengan metodologi keilmuan dan bila ternyata tidak
bisa membuktikan kebenarannya, maka keraguan akan ajaran agama akan
tumbuh.
Walaupun sama sama berangkat dari keraguan,melepas
begitu saja ilmu pengetahuan bercinta dengan filsafat akan menumbuhkan
kondisi ilmu untuk ilmu. Dimana batas ukurannya adalah kemampuan berfikir. Saat
ditemukan kertas, maka ilmu berkembang mencari kertas paling baik, pohon
harus ditebang maka tumbuh ilmu begimana memotong pohon secara cepat,
lalu terjadi banjir, ditemukan bendung, lalu ilmu berkembang mencari
bendung yang paling kuat .sebuah perlombaan lari otak tanpa
mengenal garis finish. Dan nilai nilai kemanusiaan menjadi kura-kuranya.
Bila nilai kemanusiaan selalu tertinggal,maka
segala prosesi panjang berabad abad dari filsafat,agama dan ilmu pengetahuan,
menjadi kehilangan kehakikian, karena manusia sebagai pelaku dari prosesi tak
menikmati apa yang dilakukannya sendiri. menempatkan manusia kembali ke
titik kosong. (Bukan nol. Karena nol masih punya nilai). Tak ada lagi tujuan,
yang ada adalah pengembaraan.
“nilai kemanusiaan” adalah kata kunci nya.
agama tak lagi cukup dianggap objek yang dinikmati
cinta nya, tapi harus diketahui juga bagaimana cinta itu, sebab agama sebagai
rule pencipta terhadap ciptaannya, tentunya mengatur juga hubungan dasar
manusia,,akhirnya agama harus dipelajari juga sebagai sebagai ilmu,
dengan final prosesinya adalah nilai nilai kemanusiaan. Disamping
keyakinan dan ketunduk-an, maka belajar agama menjadi mutlak..
Jika filsafat sebagai ilmu menggunakan nilai nilai
kemanusiaan maka arah pengembaraannya tak lagi lurus menjulang, tapi
berpola anak tangga ,yang menimbulkan final parsial kemanusiaan pada tiap
nilai tertinggi yang dicapainya dalam pengembaraannya.
Dari situ kemudian kemudian ilmu pengetahuan menjadi
jelas berangkat,berjalan dan menujunya. Nilai kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar